Monday, November 11, 2013

pemuda baru mengenal garam

Udin, anak Jawa baru saja menyertai kumpulan kami. Katanya mahu mencari dan mengenal.

"Bagaimana diumpamakan kita ini dalam hubungan mencari tuhan?" tanyanya kepada Adipati.
Kartolo pantas bangun dan merapati Udin.

"Bagaimana kamu mahu ngerti akan rasa masin? Di mana letaknya rasa masin yang ingin kau kenali itu?" Tanya Kartolo.

Wak dan Adipati membiarkan Kartolo bercerita.

"Tentunya pada garam. Diletakkan rahasia masin itu pada garam." jawab Udin. Agak terang akalnya.

"Justeru itu jika mahu mengenal akan masin maka garamlah jawabnya. Pada sifat garam yang berketul itu diletakkan dzat masin, maka sifat dan dzat itu bersatu. Garam itulah masin, masin itulah garam" kata Kartolo.

"Maksud kisana, jika mahu mencari tuhan maka carilah insan kerana dalam sifat insan ini diletakkan dzat tuhan?" tanya Udin. Waduh! Anak muda ini dalam baru mahu belajar sudah bisa mengaitkan dalam pengajiannya.

"Sebagimana dikatakan al insanu sirri wa ana sirruhu, begitulah..." kata Kartolo.

"Jadi jika ketulan garam sudah melebur atau larut di dalam air, maka yang tinggal hanya rasa masin, ke mana perginya ketulan itu? Masakan terpisah dzat dan sifat?" ujinya si Udin.

Kartolo menggaru kepalanya. Memandang ke arah kami. Wak dan Adipati tertawa.

"hahaha! Dzat di dalam sifat dan apabila melebur, sifat pula di dalam dzat. Di situ juga nggak ke mana-mana..." kata Adipati.

Udin senyum kepuasan.

Monday, November 4, 2013

Kalam itu apa?

"Selagi mencampur-adukkan pemahaman kita serentak antara fiqh dan tasawuf selagi itu kita nggak bisa ketemu hakikat apatah lagi kita ini sering punya niat mencari kesalahan untuk menuduh orang lain sesat" kata Adipati.

Angin gunung Suralaya meniup dingin. Ia amat kuat dirasakan dinginnya akan tetapi nggak bisa dipegang dan diramas angin itu. Dinginnya cuma bisa dirasa, melihat rupanya tidak boleh sama sekali. Kata-kata Adipati itu Wak hayati sambil mata melayan kantuk.

"Kalam itu pun berbeda pengertiannya dari sudut cabang ilmu yang berbeda" kata Adipati.

"Bukankah sama saja? Punya erti berkata-kata?" Tanya Kartolo.

"Dalam solat nggak bisa berkata-kata. Jika kita berkata aku mahu makan, batal solat itu menurut syariat" kata Adipati.

"Tetapi usul meletakkan maksud kalam itu, jika berbunyi suara yang jika dieja melebihi tiga huruf meskipun nggak beri makna apa-apa maka itu sudah jadi kalam" sambung Adipati. "Sementara Tasawuf pula, jika berbisik bersuara walaupun di dalam kalbu, itu sudah jadi kalam. "

"alangkah!" kata Kartolo.

Diam. Angin makin kuat.

"kok bagimana jika membaca dan membentuk huruf-huruf dalam solat ya? batal nggak?" tanya Kartolo lagi.

Adipati sudah terlelap dibuai angin gunung yang sejuk dan berkabus.

Friday, November 1, 2013

Selawat jumaat

Wak, Adipati dan Kartolo berjalan kaki menuju masjid pada Jumaat itu. Terdengar akan " Sesungguhnya pada hari ini Allah dan para malaikat bersalawat ke atas para nabi. Wahai orang orang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya"

"Waktu kapan Aalah dan malaikat berselawat ke atas nabi? Bisa kau mendengarnya?" tanya Adipati kepada Kartolo.

" lho...mana bisa mendengarnya? Jika dengar aku lari..." jawab Kartolo.

"Bisa dengarkah?" tanya Wak.

Adipati mengangguk. "Bisa"

Sedang solat Jumaat, saat membaca tahiyyat Wak berasa terdengar suara mengikut " Assalamualaika aiyyuhannabiyyu warahmatuklahi wabarakatuh"...

Suara turut sama beri salam dan memuji. Suara yang dari dalam diri, suara yang berbisik di telinga. Suara sendiri seakan bunyinya.